Still (Chapter 3) – END


Gambar

Title : Still

Author : Xiao Li/ @dhynakim10

Main Cast :

  • SNSD’s Jessica as Jung Sooyeon
  • EXO-K’s Kai as Kim Jongin
  • EXO-M’s Luhan as Xiao Luhan

Support Cast :

  • SNSD’s YoonA as Im Yoona
  • f(x)’s Victoria as Song Qian
  • EXO-K’s Sehun as Oh Sehun
  • SNSD’s Yuri as Kwon Yuri
  • JYJ’s Jaejoong as Kim Jaejoong
  • SNSD’s Tiffany as Jung Miyoung
  • SNSD’s Seohyun as Seo Joohyun (Seohyun)
  • etc

Genre : Angst, Family, Romance, Friendship

Length : Series

Note : Final chapter! Kok cepat? Karena aku udah kehabisan ide buat FF ini. Lagi pula, jika di tambah dengan FF 2 versi sebelumnya, itu udah melengkapi FF ini, bukan? So, I hope you can enjoy for this final chapter.

>>> 

Jongin berada di dalam sebuah pesawat dan duduk tepat di samping Yoona. Matanya terus mengamati gumpalan awan putih dari jendela kaca di sampingnya. Sedari tadi ia tak mengeluarkan satu katapun. Yang ada di pikirannya saat ini adalah pernyataan istrinya sebelum kepulangan mendadaknya menuju Seoul.

“Jangan terlalu berharap, Jongin-ssi. Aku sudah tidak mencintaimu lagi!”

“Oppa, apa kau baik-baik saja?,” tanya Yoona.

Jongin tidak menjawab. Ia masih memandang keluar jendela kaca.

Yoona menggenggam tangan Jongin. Hal itu berhasil membuat Jongin tersadar kembali dan menatap Yoona.

“Oppa, Sooyeon eonni bukanlah yang terbaik untukmu. Masih ada aku yang mencintaimu,” ucap Yoona.

Jongin melepaskan tangan Yoona dari tangannya. Ia beralih menatap langit-langit pesawat.

“Mengapa penyesalan selalu datang di akhir, Yoona-ah?,” tanya Jongin.

Yoona ikut menatap langit-langit pesawat, “Mungkin karena itu adalah takdir,” jawabnya.

“Aku masih mencintainya. Dan aku menyesal telah menyakitinya,” lirih Jongin.

Yoona menatap Jongin dalam. Sebesar itukah rasa cintamu padanya? Lalu bagaimana denganku?, batinnya.

>>> 

“Sooyeon-ah, berhentilah menangis,” ucap Qian—seraya memeluk Sooyeon erat.

“Aku menyesal, Qian. Aku menyesal,” ucap Sooyeon, “Seharusnya aku tak mengatakan seperti itu. Awalnya aku ragu saat dia mengajakku kembali. Tapi ternyata, dia sungguhan,” tambahnya—di sela tangisnya.

“Aku mengerti, Sooyeon-ah. Ini memang berat. Pasti akan ada jalan keluarnya,” ucap Qian.

Luhan menatap Sooyeon antara miris dan kecewa. Ternyata Sooyeon telah membohonginya. Berkata bahwa ia adalah rekan kerja Jongin, namun kenyataannya ia adalah istri dari pengusaha muda itu.

“Maafkan aku, gege,”

Luhan menoleh ke sampingnya—tepat dimana Sehun berdiri, “Kenapa tidak kau ceritakan dari awal, Sehun?,” tanyanya.

“Aku ingin melakukannya, gege. Tapi, aku tak mungkin membongkar rahasia Jongin,” jawab Sehun.

Luhan menghela napas berat, “Ya sudah. Kau sendiri tidak pulang ke Seoul?,”

Sehun menggeleng, “Besok saja. Aku masih ingin jalan-jalan di Beijing dan membeli oleh-oleh untuk Seohyun,” jawabnya.

Luhan mengangguk mengerti.

>>> 

“Dimana Sooyeon?,” tanya Miyoung—pada Jongin yang duduk di hadapannya.

“Kenapa eommanim tiba-tiba datang kemari?,” tanya Jongin.

“Firasatku mengatakan kalau kau dan Sooyeon telah tiba di Seoul,” jawab Miyoung, “Sekarang dimana Sooyeon?,” tanyanya.

Jongin menjilat bibirnya, “Ngg—Sooyeon meminta untuk tetap disana beberapa hari lagi. Ia harus menghadiri acara pernikahan sahabatnya. Sedangkan aku harus kembali untuk menyelesaikan pekerjaanku,” jawabnya.

Miyoung mengangguk mengerti, “Tapi, mengapa ponsel Sooyeon tidak aktif?,” tanyanya.

Jongin menggaruk kepalanya, “K-Kemarin ponselnya tercebur di sungai. Aku berniat menggantikannya yang baru. Tapi, Sooyeon bilang nanti saja di gantinya,” jawabnya.

Lagi—Miyoung mengangguk mengerti. Sedangkan Jongin bisa menghela napas lega karena ia berhasil berbohong tanpa di curigai sedikit pun.

>>> 

Yuri menghampiri Yoona dan menarik rambut Yoona, membuat Yoona merintih kesakitan.

“Sakit, eonni. Apa yang kau lakukan?,”

Yuri melepaskan rambut Yoona dari genggamannya lalu beralih menampar Yoona tepat di pipinya.

PLAKKK!!

“EONNI!,” teriak Yoona—sambil memegang pipinya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Kau keterlaluan, Yoona-ah. Kau mempermalukan aku saja,” seru Yuri.

“Apa maksudmu?,” tanya Yoona.

“Kau sudah membuat hubungan Sooyeon dan Jongin hancur. Harusnya kau itu sadar diri, Yoona-ah. Jongin adalah suami dari orang lain. Kau tidak boleh merebutnya seperti kau merebut es krim orang lain,” jawab Yuri—murka.

“Aku hanya ingin mendapatkan apa yang ku inginkan, eonni,” ucap Yoona.

“Tapi bukan begitu caranya,” ucap Yuri.

Yoona beranjak berdiri, “Lalu, sekarang apa maumu, eonni?,” tanyanya.

“Lebih baik kau kembali ke Tokyo, Yoona-ah,” jawab Yuri.

“Aku tidak mau!,” tolak Yoona.

Yuri menggeram kesal, “Kalau begitu, keluar dari apartemenku!,” bentaknya.

Yoona menatap Yuri tajam, “Kau mengusirku? Beraninya kau,” ucapnya.

“Kau ingin melaporkan hal ini pada Ibumu? Kau pikir aku akan diam saja? Tinggal ku laporkan ulahmu selama disini yaitu menghancurkan rumah tangga orang lain dan kau akan di bunuh oleh Ibumu,” ancam Yuri.

Yoona terdiam. Jika Yuri melaporkan hal tersebut, Yoona pasti akan di kurung di rumahnya di Tokyo.

“Baiklah. Aku akan keluar dari apartemenmu,” putus Yoona.

>>> 

“Ini untukmu!,”

Seohyun mengerjap, “A-Apa ini?,” tanyanya.

Sehun tersenyum, “Ambil dan bukalah. Anggap saja sebagai tanda permintamaafanku,” jawabnya.

Seohyun pun meraih kado pemberian Sehun dan membukanya. Ia begitu kaget saat melihat sepasang sepatu di dalam kado tersebut dengan tanda tangan idolanya, Xiao Luhan.

“K-Kau bertemu dengan Xiao Luhan?,” tanya Seohyun—tak percaya.

“Aku tidak sengaja berpapasan dengannya. Dan aku pun meminta tanda tangannya pada sepatu yang ku belikan khusus untukmu,” jawab Sehun.

Seohyun segera melepas kado tersebut hingga jatuh ke lantai. Sehun cukup kaget melihat insiden tersebut. Apa Seohyun marah?, batinnya.

Namun ternyata Seohyun malah memeluk Sehun dengan erat.

“Aku mencintaimu, Sehun oppa,” ucap Seohyun.

Sehun tersenyum mendengarnya, “Aku juga mencintaimu, Seohyunnie,” balasnya.

>>> 

Sooyeon duduk di kursi yang terletak di taman dekat rumah Qian. Matanya memandang bunga-bunga yang tertiup oleh angin yang berhembus pelan.

“Sudahlah, noona,”

Sooyeon menoleh ke sampingnya. Ternyata Luhan telah duduk di sampingnya. Entah sejak kapan.

“Jangan selalu bersedih. Tidak baik untuk kesehatan,” ucap Luhan.

“Kau tidak mengerti, Lu,” ucap Sooyeon.

“Siapa bilang?,” tanya Luhan, “Aku mengerti kok perasaanmu, noona. Tapi, tidak seharusnya kau seperti ini terus. Tersenyumlah. Kebahagiaan pasti akan datang,” tambahnya.

Sooyeon menyandarkan kepalanya di bahu Luhan. Luhan sempat kaget namun ia mencoba bersikap biasa saja.

“Xie xie, Lu,” ucap Sooyeon.

“Hngg?,”

“Kau sudah mau menjadi sahabat terbaikku. Terima kasih,” ucap Sooyeon.

Luhan tersenyum mendengarnya. Tangannya bergerak untuk mengusap kepala Sooyeon.

“Sampai kapanpun, aku akan menjadi sahabat terbaik untukmu, noona,” gumam Luhan.

>>> 

“Untuk apa kau kemari?,” tanya Jongin, “Dengan koper-kopermu itu? Kau mau kembali ke Tokyo?,”

“Oppa, ijinkan aku untuk tinggal disini,” pinta Yoona.

Jongin membelalakkan matanya, “Apa? Kau gila? Appa akan membunuhku jika kau tinggal disini,”

Yoona langsung menangis, “Yuri eonni mengusirku, oppa. Aku harus tinggal dimana?,” tanyanya.

“Tinggal di hotel saja,” usul Jongin.

“Hotel terlalu mahal, oppa,” ucap Yoona.

“Kalau begitu, apartemen saja,” usul Jongin.

“Aku tidak punya uang untuk menyewa apartemen,” ucap Yoona.

Jongin menghela napas berat. Dasar menyusahkan, batinnya.

>>> 

Sooyeon mencoba menghubungi seseorang melalui tempat penelponan umum. Ia menunggu orang itu untuk menjawab panggilannya.

“Halo?,”

Sooyeon segera menutup teleponnya. Tangannya memegang dadanya. Napasnya pun tak beraturan.

“Akhirnya aku bisa mendengar suaramu lagi,” gumam Sooyeon.

>>> 

Jongin memasukkan kembali ponselnya ke dalam sakunya.

“Dari siapa, oppa?,” tanya Yoona.

“Tidak tahu. Mungkin orang iseng,” jawab Jongin.

“Jadi, bagaimana, sajangnim? Apakah teman anda bersedia untuk tinggal di apartemen ini?,” tanya seorang wanita setengah paruh.

“Bagaimana, Yoona-ah?,” tanya Jongin.

“Apartemen ini cukup nyaman. Aku mau kok,” jawab Yoona.

“Baiklah. Terima kasih sudah menyewa apartemen ini. Jika ada masalah, segera hubungi kami,” ucap wanita setengah paruh itu.

“Baiklah,” jawab Yoona.

“Terima kasih, Minseon-ssi,” ucap Jongin.

“Sama-sama, sajangnim. Saya permisi,”

Setelah wanita setengah paruh itu pergi, Yoona pun segera membawa koper-kopernya menuju kamarnya. Sedangkan Jongin memilih untuk duduk di sofa sambil menonton TV.

Namun, Jongin kembali teringat akan sosok yang ia cintai.

“Sudah tiga hari aku tak bertemu dengannya. Rasanya seperti tak bertemu selama tiga tahun,” gumam Jongin.

“Sooyeon-ah, apa yang sedang kau lakukan disana? Apa kau sedang memikirkan orang yang tak kau cintai lagi?,” tanya Jongin.

“Oppa, kau berbicara dengan siapa?,” tanya Yoona—yang berhasil memecahkan bayangan Jongin.

“Ah, tidak,” jawab Jongin.

>>> 

Sooyeon sedang makan malam bersama Qian dan Luhan. Mereka menikmati sup buatan Qian serta kalkun panggang buatan Luhan.

“Bagaimana kalkun buatanku, noona?,” tanya Luhan.

“Hmm—sangat enak. Gurihnya terasa dan bumbunya juga,” jawab Sooyeon—ceria.

“Bagaimana dengan sup buatanku?,” tanya Qian.

“Sup buatanmu tak kalah enak kok, jiejie,” jawab Luhan.

Sooyeon mengangguk, “Sup buatanmu tak kalah lezat dari sup buatan restoran Italie dan Prancis,” sahutnya.

Qian tersenyum mendengarnya. Sedangkan Luhan merasa senang karena Sooyeon sudah kembali ceria.

Namun, tiba-tiba ponsel Luhan berdering.

Luhan segera meraih ponselnya dan mengangkatnya, “Ada apa, Sehun?,” tanyanya.

“Bisa bicara dengan Sooyeon?,”

“U-Untuk apa?,” tanya Luhan.

“Ini penting. Dia harus tahu hal ini,”

“Baiklah,” ucap Luhan—lalu menyerahkan ponselnya pada Sooyeon.

“Dari siapa?,” tanya Sooyeon.

“Sehun,” jawab Luhan.

Sooyeon pun meraih ponsel tersebut dan meletakkannya tepat di telinga kanannya.

“Ada apa, Sehun-ssi?,” tanya Sooyeon.

“Sooyeon-ssi, ada kabar buruk,”

Sooyeon menelan salivanya, “Ada apa? Apa yang terjadi?,” tanyanya.

“Kim sajangnim, Jaejoong ahjussi berada di Rumah Sakit. Beliau mengalami kecelakaan dan sekarang beliau sedang di periksa,”

Sooyeon menutup mulutnya. Ia menjadi syok. Qian dan Luhan pun bertanya-tanya.

“Pulanglah ke Seoul dan datanglah ke Rumah Sakit International South Korea,”

“B-Baiklah. Aku akan segera kesana,” jawab Sooyeon.

>>> 

“Tenanglah, Jongin-ah. Kim sajangnim pasti baik-baik saja. Beliau pasti selamat,” ucap Sehun.

“Aku tidak bisa tenang, Sehun-ah. Aku takut kehilangan dia,” ucap Jongin—prustasi.

Yoona menggenggam tangan Jongin, “Tenanglah, oppa. Beliau pasti selamat,” ucapnya.

“Jangan menyentuh menantuku!,” bentak Miyoung, “Jongin sudah beristri. Kau hanyalah teman biasanya saja,”

Yoona segera melepaskan genggamannya. Ia lupa disini ada Ibu dari Sooyeon.

Pintu ruang IGD pun terbuka. Jongin, Miyoung, Sehun dan Yoona segera menghampiri seorang pria berjas putih yang keluar dari ruangan tersebut.

“Bagaimana keadaan belau, uisa?,” tanya Jongin.

“Maafkan saya, Jongin-ssi. Nyawa Kim Jaejoong tidak bisa di selamatkan,” jawab Dokter itu.

“Oh, Tuhan,” ucap Miyoung—lalu menangis.

“T-Tidak mungkin. Kau pasti bohong,” ucap Jongin—tak percaya.

“Sayangnya saya berkata jujur, Jongin-ssi. Sekarang tubuh Kim Jaejoong sedang di jahit dan di bersihkan. Saya permisi,”

Jongin langsung terjatuh ke lantai. Seluruh anggota tubuhnya lemah tak berdaya. Yoona pun memeluknya erat. Sedangkan Sehun mengusap-usap punggung Jongin.

“EOMMA!!,”

Miyoung, Jongin, Yoona dan juga Sehun menoleh ke sumber suara. Sooyeon telah tiba bersama Luhan. Sooyeon pun segera menghampiri Miyoung dan memeluknya erat.

“Apa yang terjadi, eomma?,” tanya Sooyeon.

“Jaejoong sudah pergi. Dia sudah pergi,” jawab Miyoung—disela tangisannya.

“A-Apa?,” seru Sooyeon—syok. Ia juga tak bisa menerima keadaan ini.

>>> 

Jongin menatap foto Ayahnya yang terletak di dalam figura yang di letakkan di depan nisan. Proses pemakaman sudah berakhir tetapi Jongin masih betah di tempat tersebut.

“Saatnya pulang, Kim Jongin,”

Jongin menoleh, “Sooyeon-ah?,” lirihnya.

Sooyeon ikut berjongkok di samping Jongin, “Aku tahu ini berat. Kehilangan seseorang yang kita cintai itu sangat menyakitkan,” ucapnya.

Jongin menggenggam tangan Sooyeon, “Dan aku tidak ingin kehilangan orang yang ku cintai untuk kedua kalinya,” ucapnya.

“J-Jongin~”

“Apakah kau masih mencintaiku?,” tanya Jongin.

“Bukankah saat di Beijing—”

“Aku ingin kau mengatakan yang sebenarnya. Aku tahu kau masih mencintaiku. Aku pun juga masih mencintaimu, Sooyeon-ah. Aku menyesal telah menyakitimu,” ucap Jongin.

Sooyeon perlahan mengangguk. Ia tak bisa membohongi perasaannya bahwa ia pun juga masih mencintai Jongin.

“Ya, aku masih mencintaimu,” jawab Sooyeon.

Jongin tersenyum. Di peluknya tubuh istri yang ia cintai dengan erat. Sooyeon pun melakukan hal yang sama.

“Aku takkan pernah mengecewakanmu lagi, Sooyeon-ah. Aku berjanji,” ucap Jongin.

“Ya, aku percaya padamu,” jawab Sooyeon.

Disisi lain, ada enam orang yang memperhatikan mereka berdua.

“Yoona-ah, lepaskanlah dia. Aku yakin di luar sana ada orang yang lebih baik darinya,” ucap Yuri.

Yoona terdiam. Ia tak mampu mengeluarkan satu kata pun.

“Aku tak menyangka ternyata hubungan mereka hampir musnah,” ucap Miyoung.

Seohyun memeluk Miyoung erat, “Yang penting, sekarang mereka sudah kembali bersama, immo,” ucapnya—lalu beralih menatap kekasihnya yang berada di sampingnya.

Sehun tersenyum seraya mengusap kepala Seohyun.

Sedangkan Luhan menyaksikan Jongin dan Sooyeon dengan perasaan yang miris.

“Mungkin Sooyeon bukan jodohku,” gumam Luhan pelan.

>>> 

2 years later~

“Tarik napas, keluarkan, dorong!,”

“Nggghhhhhhh!!!!,” seru Sooyeon—seraya mengejan. Tangannya meremas dan menarik rambut Jongin.

“Sakit, Sooyeon-ah,” ucap Jongin.

“Aku—hhh—begini—hhh—karena kau juga—hhh—kan?,” omel Sooyeon.

“Kalau tahu begini, lebih baik kemarin kita tidak usah melakukannya saja. Aku kan tidak bisa mengurus anak kecil,” ucap Jongin.

PLETAKK!!!

“HEI! KENAPA MEMUKULKU?!!,” teriak Jongin—murka.

“Jangan membuat kondisi istri anda semakin buruk, agassi. Anda harus mendukung dia,” ucap seorang bidan.

Jongin mengangguk, “I-Iya, aku mengerti,” jawabnya.

Sooyeon terus mengejan, dan..

“UWEEKKKK!!!,”

“Woah! Bayinya lahir!,” seru Jongin.

“Kau ini seperti anak kecil,” gumam Sooyeon.

“Bayinya perempuan,” ucap bidan itu.

“Kita beri nama siapa, Sooyeon-ah?,” tanya Jongin.

“Kim Luna,” jawab Sooyeon.

“Kenapa harus Luna? Seharusnya nama bayi kita itu adalah Jasmine, Elisabeth, atau Hermione,” protes Jongin.

“Luna artinya Luhan dan Yoona. Mereka adalah sahabat kita jadi aku ingin bayi kita bisa menjadi sahabat kita juga,” jawab Sooyeon.

Jongin menghela napas berat, “Baiklah. Terserahmu saja,” jawabnya.

“Kau seperti tidak menginginkan seorang anak saja,” ucap Sooyeon.

“Aku kan inginnya sebelas anak,” jawab Jongin.

PLETAKKK!!!

“KENAPA MEMUKULKU LAGI?!!,” teriak Jongin.

“Jangan berbicara yang aneh-aneh,” ucap Sooyeon.

Jongin merengut sambil mengusap kepalanya yang sepertinya sudah bengkak karena di pukul Sooyeon dua kali.

Namun, Sooyeon mengukir senyuman di bibir tipisnya. Ia tak menyangka jika ia akan berbaikan dengan Jongin dan memiliki seorang anak.

“Terima kasih, Tuhan,” gumam Sooyeon.

Jongin yang mendengarnya—ikut tersenyum seraya membelai halus rambut istrinya. Ia pun berharap dirinya akan selamanya bisa bersama Sooyeon.

END

Review, please!

Still (Chapter 2)


Gambar

Title : Still

Author : Xiao Li/ @dhynakim10

Main Cast :

  • SNSD’s Jessica as Jung Sooyeon
  • EXO-K’s Kai as Kim Jongin
  • EXO-M’s Luhan as Xiao Luhan

Support Cast :

  • SNSD’s YoonA as Im Yoona
  • f(x)’s Victoria as Song Qian
  • EXO-K’s Sehun as Oh Sehun
  • SNSD’s Yuri as Kwon Yuri
  • JYJ’s Jaejoong as Kim Jaejoong
  • SNSD’s Tiffany as Jung Miyoung
  • etc

Genre : Romance, Family, Angst, Friendship

Length : Series

>>> 

Sooyeon mengerjapkan matanya, begitu juga dengan Jongin. Mereka sama-sama kaget dan tak percaya.

“Kalian saling mengenal?,” tanya Luhan.

Sooyeon mengangguk, begitu juga dengan Jongin.

Luhan tersenyum, “Baguslah. Itu artinya aku tak perlu memperkenalkan kalian berdua lagi,” serunya.

Jongin tertawa paksa, “Ah, iya,” ucapnya.

Jessica pun memamerkan senyuman paksanya. Bagaimana mungkin Jongin berada disini?, batinnya.

>>> 

Luhan, Sooyeon dan Jongin beristirahat di sebuah bangku di taman. Disana banyak sekali orang-orang yang bersantai setelah joging.

“Jadi, kalian adalah rekan kerja, ya?,” tanya Luhan.

“Iya,” jawab Sooyeon dan Jongin bersamaan.

“Pasti enak sekali punya sekretaris cantik seperti Sooyeon. Benar, kan, Jongin-ssi?,” tanya Luhan.

Jongin tersenyum paksa, “Begitulah~” jawabnya.

Tiba-tiba, sebuah truk es krim muncul dan berhenti di ujung taman yang jaraknya lumayan dekat dengan mereka. Mata Sooyeon langsung berbinar saat melihat es krim.

“Akan ku belikan kau es krim, noona,” ucap Luhan—yang mengerti maksud dari tatapan Sooyeon.

“Ah? Terima kasih, Lu,” ucap Sooyeon—gembira.

“Bagaimana denganmu, Jongin-ssi?,” tanya Luhan.

Jongin mengibaskan tangannya, “Tidak, terima kasih,” jawabnya.

Luhan mengangguk mengerti. Ia pun segera pergi menghampiri truk es krim tersebut.

Dan kini, hanya ada Sooyeon dan Jongin yang duduk di bangku tersebut. Suasana berubah menjadi canggung.

“Ngg—bagaimana kabarmu?,” tanya Jongin—mencoba membuka pembicaraan.

“Disini aku baik, sangat baik,” jawab Sooyeon.

Jongin hanya ber-oh pelan. Sepertinya Sooyeon sangat betah disini, batinnya.

“Baru dua hari berpisah, sudah bertemu lagi.” gumam Sooyeon.

Jongin  menoleh ke arah Sooyeon. Ia mulai tersenyum jahil, “Tapi, kau senang, kan?” goda Jongin.

Sooyeon menoleh cepat ke arah Jongin. Ia menatap Jongin tajam. Sedangkan Jongin membalasnya dengan tatapan hangat, dan itu berhasil membuat Sooyeon luluh.

“Tentu saja aku senang. Tapi, kau tenang saja, Jongin-ssi. Aku sudah mengurus perceraian—”

“Tidak!,” potong Jongin cepat—membuat Sooyeon kaget mendengarnya.

“Aku tidak akan pernah bercerai denganmu, Sooyeon-ah. Tidak akan pernah!,” ucap Jongin.

Sooyeon menatap Jongin dengan tatapan sulit di artikan. Bingung, takut, cemas, tak percaya, senang, sedih, itulah yang saat ini ada di pikirannya.

“Es krim sudah datang!,” seru Luhan—seraya membawa dua cup es krim.

“Wah~” seru Sooyeon—seraya meraih satu es krim yang ada di tangan Luhan. “Terima kasih, Lu. Kau yang terbaik,”

Luhan tersipu mendengarnya. Ia tak dapat menutupi senyumannya. Sedangkan Jongin harus menahan rasa cemburu yang membakar hatinya.

Sakit, kenapa rasanya sakit sekali?, batinnya.

>>> 

“Ku mohon, Seohyun-ah. Dengarkan penjelasanku dulu,” pinta Sehun—melalui ponselnya—pada Seohyun, kekasihnya.

Sambungan telepon tiba-tiba terputus. Sehun mengacak-acak rambutnya prustasi.

“Dia marah?,” tanya Jongin.

“Sangat. Dan kau harus bertanggung jawab,” jawab Sehun—kesal.

“Saat kita kembali ke Seoul, aku berjanji akan mendamaikan kalian berdua,” ucap Jongin.

Tiba-tiba ponsel Jongin berdering. Ia menatap layar ponselnya. Jongin mendadak takut dan cemas. Sehun dapat melihat hal itu dari wajahnya.

“Apakah itu Ayahmu?,” tanya Sehun.

Jongin mengangguk lemah. Ia segera mengangkat teleponnya sebelum Ayahnya semakin marah.

“Ada apa, appa?,” tanya Jongin.

“Kau dimana?,”

“Ngg—aku—”

“Saat ini aku berada di kantormu. Aku menanyakan pada semua karyawan. Tapi, mereka tidak tahu. Rumahmu juga terkunci tak ada penghuni kata Miyoung. Lantas, dimana kau dan Sooyeon?,”

Jongin menelan salivanya kasar, “Aku dan Sooyeon berada di Beijing. Maaf kami lupa memberitahumu, appa. Kami lupa,” ucapnya.

“Astaga! Harusnya kau memberitahuku terlebih dahulu,”

“Maafkan aku, appa,” ucap Jongin.

“Ya sudah. Tidak apa. Bersenang-senanglah di Beijing. Aku tahu kalian lelah bekerja. Jadi kalian memang butuh penyegaran,”

“Kau adalah Ayah yang pengertian, appa,” ucap Jongin—senang.

“Tentu saja. Aku tutup dulu, ya?,”

“Baiklah,” jawab Jongin—lalu mengakhiri teleponnya.

Jongin bersandar dan menghela napas lega. Untunglah ia berhasil membuat Ayahnya tak marah dan tak curiga.

“Kali ini kau selamat, Jongin-ah,” ucap Sehun.

Jongin hanya tersenyum mendengarnya.

>>> 

“Ya sudah. Tidak apa. Bersenang-senanglah di Beijing. Aku tahu kalian lelah bekerja. Jadi kalian memang butuh penyegaran,”

Yoona menangkap kalimat dari mantan direktur perusahaan terbesar di Korea Selatan yaitu Kim Jaejoong yang membuat jantungnya tak berhenti berdetak cepat. Saat ini, Yoona sedang menemani Yuri bekerja. Lumayan daripada ia menganggur di rumah.

“Jongin oppa di Beijing?,” gumam Yoona, “Apakah dia bersama Sooyeon eonni?,” pikirnya.

Yuri menatap Yoona tajam. Pasti Yoona merencanakan hal yang aneh lagi, batinnya.

>>> 

Sooyeon sedang berbaring seraya menatap langit-langit kamarnya. Ia masih memikirkan perkataan Jongin tadi pagi di taman.

“Aku tidak akan pernah bercerai denganmu, Sooyeon-ah. Tidak akan pernah!,”

 

“ARGH!!,” teriak Sooyeon—prustasi. Ia mengacak-acak rambutnya hingga berantakan.

“Ku dengar, Jongin tinggal di rumah Luhan, ya?,” tanya Qian—yang tiba-tiba muncul di balik pintu kamar Sooyeon.

Sooyeon menghela napas berat, “Ya, begitulah,” jawabnya.

“Aku mengerti akan perasaanmu, Sooyeon-ah,” ucap Qian.

“Terima kasih sudah peduli, Qian,” balas Sooyeon.

“Jika kau masih mencintainya, kembalilah padanya. Ku pikir, Jongin juga masih mencintaimu. Jika tidak, untuk apa ia kemari?,”

Sooyeon terdiam. Perkataan Qian benar juga, batinnya.

“Apa aku memang harus kembali padanya, ya?,” tanya Sooyeon—ragu.

“Kau ragu?,” tanya Qian.

Sooyeon mengangguk, “Aku masih ragu dengan Jongin yang sekarang. Mengapa ia tiba-tiba mengejarku setelah menyakitiku?,”

“Karena ia menyesal,” jawab Qian.

“Kau benar. Tapi, hati kecil ku masih ragu,” ucap Sooyeon.

Qian menghela napas berat, “Kalau begitu, biarkan waktu terus berjalan. Kau lihat dulu perkembangannya sekaligus kau mantapkan isi hatimu,” sarannya.

Sooyeon tersenyum, “Kau adalah penyaran terbaik yang pernah ku temui, Qian,” ucapnya.

“Thats me!,” ucap Qian—percaya diri.

>>> 

Yuri melemparkan tasnya ke atas ranjangnya. Hari yang melelahkan, batinnya. Bagaimana tidak lelah? Hari ini ia mendapatkan pekerjaan ekstra selama Sehun tidak ada. Tetapi, untungnya, gajinya menjadi bertambah.

“Tiba-tiba aku merindukan Sooyeon. Kira-kira, dia sedang apa, ya?,” gumam Yuri.

BUKK!!

Yuri tersentak saat mendengar suara keras dari kamar sebelah. Khawatir dengan apa yang terjadi, Yuri pun segera pergi ke kamar sebelah.

“Yoona-ah, kau mau kemana?” tanya Yuri—saat melihat Yoona mengemasi pakaiannya.

“Aku ingin menyusul Jongin oppa ke Beijing!” jawab Yoona.

Yuri membelalakan matanya. Ia tak percaya Yoona senekat ini. Yuri pun segera mengeluarkan pakaian Yoona dari koper.

“Apa yang kau lakukan, eonni?,” tanya Yoona—kesal.

“Kau tidak boleh pergi,” larang Yuri.

“Dan membiarkan Jongin oppa dan Sooyeon eonni tidak jadi bercerai? Tidak akan!,” seru Yoona.

“K-Kau tahu?,” tanya Yuri.

Yoona mengangguk, “Ya, aku sudah tahu semuanya,” jawabnya.

“Yoona-ah, ku mohon jangan rusak hubungan mereka,” pinta Yuri.

“Aku tidak mau, eonni!,” tolak Yoona, “Jongin oppa adalah cinta pertamaku, hidup dan matiku. Aku tidak mau kehilangan dia,” ucapnya.

“Yoona-ah, kau terlalu terobsesi pada Jongin,” ucap Yuri.

“Memang iya. Aku terobsesi dan tergila-gila pada Jongin oppa,” jawab Yoona—seraya kembali mengemasi baju-bajunya.

Yuri mengacak rambutnya prustasi. Saat ini, ia sedang memikirkan cara untuk mencegah kepergian Yoona.

>>> 

Miyoung menekan bel di kediaman Kim Jaejoong. Pintu pun di buka oleh salah satu pelayan di rumah seperti Mansion tersebut.

“Sajangnim, silakan masuk!,”

Miyoung mengangguk seraya masuk ke dalam rumah milik Jaejoong. Ia mendapati Jaejoong sedang menonton TV di ruang tengah.

“Miyoung-ah? Silakan duduk,” ucap Jaejoong.

“Terima kasih,” ucap Miyoung—seraya duduk di sofa nan empuk, “Dimana anakku, tuan Kim?” tanya Miyoung.

“Jongin menghubungiku kemarin. Dia berkata dia dan Sooyeon sedang berlibur ke Beijing.” jawab Jaejoong.

Miyoung hanya ber-oh pelan. Syukurlah jika Sooyeon baik-baik saja, batinnya.

>>> 

Sooyeon dan Luhan sedang makan siang di halaman Luhan. Sebenarnya berempat bersama Jongin dan Sehun. Tapi, keduanya begitu pasif sehingga rasanya hanya ada Sooyeon dan Luhan saja.

“Kenapa kalian berdua diam?,” tanya Luhan.

“Aku hanya mengikuti tradisi eomma,” jawab Sehun.

Luhan terkekeh mendengarnya, “Bagaimana denganmu, Jongin-ssi?,” tanyanya.

“Aku hanya sedang ingin menikmati masakanmu saja,” jawab Jongin—asal. Padahal sedari tadi ia sibuk memandangi Sooyeon. Maka dari itu Sooyeon merasa gelisah.

Selesai makan, Sooyeon meminta ijin untuk ke rumah Qian sebentar. Namun tampaknya Jongin mengikutinya hingga Sooyeon menghentikan langkahnya tepat di depan gerbang rumah Luhan.

“Berhenti mengikutiku, Jongin-ssi,” pinta Sooyeon.

“Aku hanya ingin kau menjawab pernyataanku kemarin,” ucap Jongin.

Sooyeon menelan salivanya kasar. Ia belum siap untuk menjawab. Bukankah ia berencana untuk melihat dulu dalam waktu yang lama setelah itu mengevaluasinya?

“J-Jongin—”

“Hanya jawab saja. Dan katakan—kau ingin kembali lagi padaku,” pinta Jongin.

“Lebih baik kau pulang, Kim Jongin!” usir Sooyeon.

Jongin mengernyit heran, “Aku berada di depan rumah tempat aku tinggal sementara,” jawabnya.

“Maksudku pulang ke Seoul,” ucap Sooyeon.

“Aku kesini untuk membawamu kembali.” ucap Jongin.

“Jangan terlalu berharap, Jongin-ssi. Aku sudah tidak mencintaimu lagi!” ucap Sooyeon.

DEG!

Perkataan Sooyeon bagaikan sengatan listrik baginya. Wajah Jongin tak bisa di artikan. Tampak seperti syok berat pada umumnya.

“J-Jongin~” gumam Sooyeon—takut.

“Ku pegang kata-katamu, eonni,”

Sooyeon dan Jongin menoleh ke sumber suara. Dan yang benar saja, pemilik suara itu tak lain adalah Yoona.

“Yoona-ah?,” gumam Jongin—kaget.

Yoona segera merangkul lengan Jongin, “Dia sudah tak mencintaimu lagi, oppa. Percuma mengharapkannya. Yang ada, kau hanya menerima luka,” ucapnya.

“A-Aku hanya—”

“Oppa, ayo kemasi barang-barangmu dan kita pulang,” seru Yoona.

“J-Jongin, tapi—”

Yoona membawa Jongin berjalan masuk ke rumah Luhan. Jongin tampak seperti boneka yang dengan lemah di perintahkan oleh majikannya. Ia menurut apa yang di katakan Yoona. Mungkin ini karena efek syok yang tadi Jongin rasakan.

Mata yang awalnya berkaca-kaca, kini sudah merembeskan kristal-kristal bening. Sooyeon tak bisa mengeluarkan satu kata pun. Berteriak pun tidak bisa. Rasanya ia kehilangan oksigen.

Awalnya hanya ingin mencoba apakah Jongin langsung menyerah begitu saja, ternyata mengefekkan suatu dampak yang besar. Memang, penyesalan selalu datang di akhir.

Hujan pun turun dengan derasnya. Namun, Sooyeon tetap mematung di tempat yang tadi. Hingga seseorang memayunginya di tengah hujan yang deras.

“Apa kau baik-baik saja, noona?,” tanya Luhan.

Namun yang di tanya lagi-lagi tak bisa mengeluarkan suara sedikit pun. Kini, Luhan merasa seperti orang yang aneh sedang berbicara dengan patung manequin yang sangat cantik.

To Be Contiuned

 

Chapter 2 selesai. Akhirnya! Lega, deh! Lanjutannya nyusul, ya? Gak tau sih kapan. Tapi di usahain deh!

Don’t forget about review, okay? ^^

I Love You, But I Hate You (Kai’s Version)


Gambar

Title : I Love You, But I Hate You

Author : Xiao Li/ @dhynakim10

Main Cast :

  • EXO-K’s Kai as Kim Jongin
  • SNSD’s Jessica as Jung Sooyeon

Support Cast :

  • SNSD’s YoonA as Im Yoona
  • SNSD’s Yuri as Kwon Yuri
  • Miss A’s Suzy as Bae Suzy
  • EXO-K’s Sehun as Oh Sehun
  • JYJ’s Jaejoong as Kim Jaejoong (Kai’s Dad)
  • etc

Genre : Angst, Romance, Family

Length : Oneshoot

Rating : PG17

Note : Ini versi Kai. Semoga kalian suka!

>>> 

Aku benci menjadi diriku. Mengapa begitu? Karena kehidupanku sangatlah suram. Aku memang hidup mapan, aku di gilai banyak wanita, tapi mengapa aku memiliki Ayah yang tak pernah mencintaiku? Beliau lebih mencintai puteri angkatnya yang sekarang menjadi istriku, Jung Sooyeon.

Apa yang Jung Sooyeon inginkan, selalu di penuhi. Bagaimana dengan keinginanku? Ayah selalu berkata, ‘Kau seorang laki-laki. Kau tak boleh manja! Belajarlah untuk mandiri!’. Tapi, apa kata-kata itu pantas untuk seorang anak kecil berumur 7 tahun?

“Merry cristmast, appa!” ucap Sooyeon—pada Ayah.

 

“Merry cristmast, Sooyeon-ah!” ucap Ayah—seraya mengecup pipi Sooyeon singkat.

 

Aku memandang Sooyeon iri. Terakhir aku di kecup oleh Ayah saat umurku beranjak 1 tahun.

 

“Appa, apa aku mendapatkan kado natal?” tanya Sooyeon—manja. Cih!

 

“Tentu, sayang.” jawab Ayah, “Ini kado natal untukmu!” ucap beliau—seraya menyerahkan kado pada Sooyeon.

 

“Asyik!” seru Sooyeon—tampak gembira.

 

“Appa, bagaimana denganku?” tanyaku.

 

“Maafkan appa, Jongin-ah. Appa bingung ingin membelikanmu hadiah apa. Appa tidak tahu apa yang kau sukai.”

 

Selalu seperti ini. Giliran Sooyeon, Ayah tahu. Giliranku?

 

“Tenang, Jongin-ah. Setelah perayaan, appa akan mengajakmu membeli hadiah untukmu. Apa saja!” ucap Ayah.

 

Aku menghela nafas berat. Aku sudah membenci Sooyeon sejak kecil. Semenjak ia di temukan bersama Ibunya terlantar di tepi jalan, dan ia tinggal bersamaku, tak tahunya kelakuannya melunjak. Ia menjadi manja begitu juga dengan Ibunya. Hingga aku dan Sooyeon tumbuh remaja. Tetap saja Sooyeon yang selalu di nomor satukan.

Seandainya saja ada Ibu. Pasti keadaan takkan seperti ini.

“Jongin-ssi—”

Tsk! Itu suara Sooyeon. Aku sangat membenci suaranya. Menikah dengannya semakin membuat kehidupanku menjadi kelam.

“BERISIK! AKU BISA BANGUN SENDIRI! TAK USAH MENGURUSIKU!” teriakku.

Aku sadar aku memang kejam dan jahat padanya. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku sudah terlanjur membencinya sejak awal. Ia sudah banyak membuatku sakit hati. Tapi, setelah sekian lama bersamanya, kebencianku padanya mulai berkurang. Namun, aku berusaha untuk menutupi perasaan ini.

“Maafkan aku. Sarapan sudah ku siapkan di bawah.” ucapnya—dari luar kamarku.

Aku tak membalas perkataannya. Terkadang, aku merasa kasihan padanya. Aku tahu ia sudah berubah. Tapi, rasa sakit hati bercampur gengsi di diriku tetap bertahan.

Aku pun bangun dari ranjangku. Lebih baik aku bergegas mandi agar aku tak terlambat bekerja.

>>> 

Aku keluar dari kamarku dengan pakaian resmi serta tas di tanganku. Tak ada Sooyeon. Aku yakin saat ini ia sedang mengunci dirinya di kamarnya, seperti biasa. Semenjak aku mengatakan kata-kata yang ku yakini berhasil membuat perasaannya hancur, ia tak pernah muncul di hadapanku saat pagi hari.

Aku berjalan menuju ruang makan. Aku membuka tutup saji di atas meja makan. Menu sarapan pagi ini adalah sup rumput laut, masakan favoritku. Aku tersenyum melihatnya. Sooyeon memang mengetahui masakan favoritku. Terlebih lagi saat Ibu sering memasakkan sup rumput laut padaku dan Sooyeon.

Lagi, hal ini membuatku merasakan getaran yang aneh tentang Sooyeon.

>>> 

Aku merentangkan otot-ototku setelah selesai mengerjakan file. Aku segera bersandar di kursiku dan memejamkan mataku sejenak.

“Bagaimana hubunganmu dengan Sooyeon?”

Aku membuka mataku terpaksa. Pertanyaan Sehun—partner kerjaku sekaligus sahabatku sejak kecil—sangat tidak pas untuk suasana hatiku yang lelah.

“Seperti biasanya. Tak ada perubahan.” jawabku.

Sehun tampak mendesis,

“Kapan kalian berdamai? Ayolah, Jongin-ah. Sooyeon sudah baik padamu. Kapan kau membalasnya?”

“Never mind. Aku sendiri tak tahu, Sehun-ah. Rasa sakit hatiku masih kokoh mempertahankan bentengnya.” jawabku—di iringi helaan nafas berat.

“Sehun-ah~” panggilku.

“Hm?” balasnya.

“Apa kau punya teman kencan—lagi?” tanyaku.

Sehun mendesis lagi. Di saat seperti ini, aku masih bisa menanyakan hal konyol seperti itu. Memang, satu-satunya cara untuk menghilangkan rasa stress ku ini adalah berkencan dengan seorang wanita—selain Sooyeon.

>>> 

Aku duduk di sebuah kursi di tepi sungai Han. Pemandangan sungai Han dan hembusan angin seperti sebuah penyegaran untukku.

“Jongin oppa?”

Aku menoleh ke sumber suara. Oh, rupanya teman kencan yang harusnya berkencan dengan Sehun sudah datang. Wanita ini tampaknya cukup cantik dan manis. Wajahnya sedikit mirip dengan—err Sooyeon.

“Selamat sore. Namaku Bae Suzy. Panggil saja aku Suzy!” ucap wanita itu.

“Oh, hai, Suzy-ssi.” sapaku.

Suzy merengut—membuatnya tampak semakin lucu.

“Jangan memanggilku seformal itu, oppa.” ucapnya.

Aku terkekeh pelan—seraya mengusap kepalanya perlahan. Namun, ia segera menarik tanganku hingga aku berdiri.

“A-Ada apa?” tanyaku.

“Ayo, kita berkeliling!” ajaknya.

Tiba-tiba, mataku menangkap dua sosok yang aku kenal. Astaga! Bukankah mereka adalah Ibu Sooyeon dan juga Taeyeon? Habislah sudah nyawaku. Jangan sampai Ayah tahu akan hal ini.

“Suzy-ah, ayo kita pergi.” ajakku—seraya menarik tangannya.

“Eh—kemana?” tanya Suzy—tampak bingung.

“Sudah, ikut saja.” perintahku—lalu membawanya pergi.

>>> 

Saat ini aku berada di sebuah restauran. Aku memesan ruangan VVIP untukku sendiri. Aku juga memesan vodka dan soju untukku sendiri. Saat ini rasa stress ku semakin meningkat. Aku terus memikirkan kejadian tadi sore. Bagaimana jika Ibu Sooyeon mengadukan hal ini pada Ayah? Hancur sudah tubuhku pasti karena di pukuli oleh Ayah.

Tiba-tiba, aku yang sudah setengah sadar ini teringat akan wajah Sooyeon. Aku tahu ia sangat mencintaiku. Bahkan aku ingat saat dirinya mencoba melindungiku dari pukulan Ayah. Hanya saja kebencian telah membutakan hatiku untuk mencintainya.

“Sajangnim~”

Sepertinya ada yang memanggilku. Aku menoleh ke sumber suara. Oh, ternyata Sooyeon.

“Ada apa kau kemari?” tanyaku.

“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau mabuk, sajangnim?” tanyanya.

“Aku menyuruhmu untuk memanggilku dengan formal, tapi tidak menyebutku sajangnim.” ucapku.

“B-Baiklah, J-Jongin-ssi. Sekarang lebih baik anda pulang.”

Aku memandang wajah Sooyeon lekat-lekat. Sungguh sayang sekali selama ini aku memperlakukannya sangat kasar dan jahat.

Entah mengapa tanganku bergerak sendiri—menarik punggungnya dan mulai menempelkan bibirku ke bibirnya. Tanganku berjalan dan mencoba membuka kancing bajunya, namun Sooyeon segera menahannya.

“Jangan disini.” ucapnya.

Aku terkekeh mendengarnya. Tampaknya Sooyeon menerima perlakuanku. Mungkin memang sudah saatnya aku mengabulkan permintaan Ayah yaitu memberikan seorang cucu.

>>> 

Aku membuka mataku perlahan. Kepalaku terasa sangat berat. Aku menoleh ke arah sampingku. Betapa kagetnya aku saat melihat siapa yang ada di sampingku.

“YURI-SSI?”

“Ada apa, Jongin-ah?” tanyanya.

Aku segera bangkit dan melempar bantal ku ke wajahnya.

“YA! APA YANG KAU LAKUKAN?” teriaknya—seraya memakai pakaiannya.

“Apa yang kau lakukan di kamarku?” tanyaku.

“Apa kau lupa tadi malam kita melakukan apa?” tanyanya.

Astaga! Apa aku tidak melakukannya bersama Sooyeon, melainkan bersama Yuri?

“Gugurkan anakmu!” perintahku.

“A-Apa?” tanyanya—tampak syok.

“Atau kau akan ku pecat.” ancamku.

Yuri menyeringai—membuatku sedikit takut,

“Tenang saja, Jongin-ssi. Aku menggunakan kontrasepsi.” ucapnya.

Huh, syukurlah!

“PERGI DARI KAMARKU!” teriakku—mengusirnya.

Yuri dengan pakaiannya yang berantakan keluar dari kamarku. Aku segera menutup pintu kamarku sekencang mungkin. Pasti Sooyeon tahu akan hal ini. Lantas bagaimana dengannya? Aku kembali melukai hatinya.

>>> 

Sehun menatapku tajam setelah ku ceritakan semua yang terjadi padaku.

“Ini sudah terlanjur, Sehun-ah. Mau bagaimana lagi?” tanyaku—prustasi.

“Kau itu bodoh atau apa, Jongin-ah? Yuri itu bukan tipe orang yang akan diam saja. Bagaimana jika ia melaporkan hal ini pada Kim sajangnim? Bisa mati kau, Jongin-ah.” omelnya.

Aku mengutuki diriku sendiri. Benar juga apa yang di katakan Sehun.

“Jadi, aku harus bagaimana, Sehun-ah?” tanyaku.

“Pergi dan minta maaf kepadanya!” perintah Sehun.

“A-APA? MINTA MAAF PADA YURI?” teriakku—syok.

“Harga diri menurun atau di bunuh oleh Kim sajangnim?” tanyanya.

Aku menelan salivaku kasar. Pilihanku satu-satunya adalah meminta maaf pada Yuri.

>>> 

Aku mengetuk pintu ruangan Yuri. Aku malu sekali. Rasanya seperti menjilat ludah sendiri.

“Silakan masuk!” ucapnya.

Aku membuka pintunya perlahan. Aku masuk dengan sedikit gemetaran. Rasanya aku takut permintamaafan ku di tolak mentah-mentah oleh Yuri.

“Ada apa kemari, sajangnim?” tanyanya.

“A-Aku ingin—a-aku—”

“Anda tidak perlu bersusah payah untuk meminta maaf, sajangnim. Orang lain sudah mewakilkan permintamaafanmu kemarin sore.”

Aku membelalakan mataku mendengarnya. Siapa yang sudah mau mewakilkan ku dalam melakukan hal ini? Sehun? Tidak mungkin dia.

“Istrimu, Kim Sooyeon. Dia lah orang yang sudah mewakilkan anda, sajangnim.”

DEG!

Sooyeon melakukan ini? Setelah aku menyakiti hatinya lagi?

“Jangan berbohong, Yuri-ssi.” ucapku.

“Saya tidak akan mendapatkan keuntungan jika saya berbohong, sajangnim.”

Benar juga apa kata Yuri. Jadi, Sooyeon telah melakukan hal mulia seperti ini? Sungguh berdosanya aku. Aku sangat malu melebihi rasa malu jika permintamaafanku di tolak oleh Yuri.

>>> 

Aku melihat Sooyeon yang sedang menyiapkan makan malam. Hari ini aku sengaja pulang cepat. Aku tak ingin pulang tanpa melihat Sooyeon seperti biasanya karena ia akan tidur lebih dulu.

“Sooyeon-ah~” panggilku.

Ia menoleh—kaget. Mungkin ia ragu karena aku memanggilnya tidak formal.

“Terima kasih.” ucapku.

“Untuk apa, Jongin-ssi?” tanyanya.

Ku mohon, Sooyeon-ah. Jangan panggil aku seformal itu lagi. Maafkan aku!

“Hngg—sudah meminta maaf pada Yuri.” jawabku.

Sooyeon tampak terdiam sejenak. Beberapa detik kemudian, ia tersenyum manis. Oh, senyuman yang sangat ku rindukan. Sudah sekian lama aku jarang melihatnya. Betapa bodohnya aku menyia-nyiakan wanita secantik dan sebaik Sooyeon.

>>> 

Akhirnya aku bisa tersenyum lega. Sehun pun selalu menggodaku hari ini. Namun, saat ada nomor asing masuk ke ponselku, senyumanku memudar. Perasaan aneh menyelimutiku. Aku segera mengangkat telepon dari orang asing itu.

“Halo?”

“Jongin oppa? Apa kau mengingatku?”

Aku menelan salivaku kasar. Suara ini..

“Yoona?”

>>> 

Aku dan Yoona berada di sebuah kedai es krim di Lotte World. Yoona adalah cinta pertamaku saat aku masih SMA. Namun, hubungan kami berakhir setelah ia pindah ke Tokyo bersama keluarganya.

“Oppa, apa kau merindukanku?” tanyanya.

Aku hanya tersenyum kecut. Merindukannya? Sangat, sangat merindukannya.

“Oppa, aku berpikir untuk memulai kembali hubungan kita. Bagaimana menurutmu?”

DEG!

Memulai kembali hubungan? Sementara aku sudah berstatus sebagai seorang suami?

“Oppa!”

“Ah? I-Iya? Ada apa?” tanyaku—gugup.

Yoona tampak merengut. Sedetik kemudian, ia menarik tanganku dan membawaku keluar dari restauran.

“K-Kita mau kemana?” tanyaku.

“Kemana saja. Kau menyebalkan!” jawabnya—terdengar kesal.

Aku memutar bola mataku. Yoona merupakan tipe orang yang mudah merajuk. Aku masih ingat akan hal itu.

“Yoona-ah?”

Aku menoleh ke sumber suara. Astaga! Bukankah itu Yuri? Dia sedang berjalan menghampiri kami—bersama Sooyeon?

“Yuri eonni?” ucap Yoona.

Tunggu dulu! Apa Yoona dan Yuri saling mengenal?

“Jongin oppa, perkenalkan dia adalah sepupuku, Yuri eonni. Dan Yuri eonni, dia ini adalah Jongin oppa, cinta pertamaku.” ucap Yoona.

Astaga! Yoona mengatakan semuanya. Aku bisa melihat reaksi Sooyeon yang tampak syok. Kemarin aku baru saja membuatnya tersenyum kembali. Sekarang aku telah menyakiti hatinya lagi.

“A-Aku—” ucapku tertahan. Aku sendiri bingung ingin mengatakan apa. Untuk menjelaskan yang sebenarnya, ini bukan waktu yang tepat.

“Eonni, siapa wanita ini?” tanya Yoona.

“Yoona-ah, sebaiknya kau menjauhi pria ini.” ucap Yuri.

Yuri akan mengatakan semuanya. Ku mohon Yuri, jangan sekarang.

“Memangnya kenapa?” tanya Yoona.

“Karena dia adalah—”

“Direktur perusahaan ternama di Seoul.” seru Sooyeon.

Aku menatapnya aneh. Oh, Sooyeon, itu bukan jawaban yang masuk akal.

“Jadi, Yuri tak ingin kau dekat dengan seorang direktur. Mungkin—karena kebanyakan direktur itu suka memainkan perasaan wanita.” jelasnya.

Jadi kau menganggapku suka memainkan perasaan wanita? Baiklah, jika itu yang kau mau, Sooyeon-ah. Aku bersedia mengabulkannya.

Yoona tertawa renyah,

“Jongin oppa tak seperti itu, eonni. Jongin oppa adalah orang yang setia.” ucapnya.

Aku tersenyum mendengarnya. Yoona memang mengetahui keadaanku. Hanya Yoona.

“Yoona-ah, mau bermain roller coaster?” tawarku.

“Tentu. Ayo, oppa!” jawab Yoona, “Sampai jumpa, eonni!”

“Ah, iya.” jawab Yuri.

Aku dan Yoona saling bergenggaman tangan dan berjalan menuju wahana roller coaster. Hari ini aku sedikit muak pada Sooyeon.

>>> 

Sudah satu bulan aku dan Yoona sering bersama. Bahkan aku melupakan keberadaan Sooyeon. Yoona yang mengetahui Sooyeon hanya sebagai seorang pelayan di rumahku—tak mempermasalahkannya. Bahkan setiap kami bercumbu, Yoona tak mempedulikan saat Sooyeon melihat kami.

Miris? Tentu saja. Aku kasihan pada Sooyeon. Aku sadar aku bukanlah suami yang baik untuknya. Aku mencintainya, tapi rasa cintaku sebagian ada pada Yoona. Jadi, aku harus bagaimana? Haruskah ku pilih salah satunya?

Aku telah tiba di rumah di sore hari. Saatnya untuk meminta maaf pada Sooyeon. Sakit hatinya pasti sudah banyak.

“Sooyeon-ah~” panggilku.

Tak ada jawaban. Apa hanya perasaanku saja? Rumah ini terasa hampa. Apa Sooyeon sedang keluar?

“Sooyeon-ah? Kau dimana?” panggilku—sedikit berteriak.

Aku mencoba masuk ke kamarnya—untuk yang pertama kali. Aku melihat kamarnya kosong. Hanya ada ranjang, meja rias, TV, lemari dan kulkas. Tak ada peralatan make-up di meja rias milik Sooyeon, tak ada sprei di ranjangnya. Dan saat ku buka lemarinya..

KOSONG!

Tak ada satupun pakaiannya.

Apakah Sooyeon telah pergi?

Aku berjalan menuju kamarku. Aku berteriak prustasi. Aku merebahkan tubuhku kasar di atas ranjang. Kemudian, tanganku masuk ke dalam saku celanaku—mencoba menggapai ponsel milikku. Setelah ketemu, aku segera menekan tombol 2 yang menjadi nomor khusus yaitu nomor Sooyeon, nomor yang sangat jarang ku hubungi.

“Halo. Disini Kim Sooyeon. Maaf, aku sedang sibuk. Silakan tinggalkan pesan jika penting. Terima kasih.”

Sial! Nomornya tidak aktif. Hanya ada rekaman yang di pasang oleh Sooyeon. Aku sedikit kaget ia menggunakan nama Kim Sooyeon.

“Sooyeon-ah, kau dimana? Jika kau mendengar pesan ini, segeralah menghubungiku.” ucapku—meninggalkan pesan.

Aku melempar ponselku. Namun, mataku menangkap sebuah kertas di samping tempat aku berbaring. Aku meraihnya dan mencoba membacanya.

Dear Kim Jongin, my beloved husband..

 

Kau pasti saat ini marah padaku, bukan? Aku pergi tanpa memberitahumu lebih awal. Aku sudah memutuskan ini. Ini adalah pilihan yang tepat. Aku akan mengurus surat perceraian kita, dan kau bisa menikah dengan Yoona.

 

“How dare she!” gumamku—tak percaya.

Aku memutuskan untuk pergi ke Beijing. Tak perlu khawatir dengan aku. Di Beijing, aku punya seorang teman. Tolong ucapkan terima kasih banyak pada Ayah karena sudah merawatku sejak kecil. Terima kasih juga karena telah membiayai pengobatan Ibuku. Aku juga berterima kasih padamu, Jongin. Kau sungguh pria yang baik. Andai kau mencintaiku, pasti kau akan selalu setia padaku. Sayangnya aku bukan orang yang kau cintai. Dan aku telah mengetahui bahwa orang yang kau cintai adalah Yoona.

 

“Sooyeon-ah~” gumamku.

Aku mencintaimu, Kim Jongin. Tapi, aku rela kau bersama Yoona. Asal itu bisa membuatmu bahagia, aku rela.

Sampai jumpa, Jongin. Aku akan sangat merindukanmu. Pengacaraku akan datang menemuimu besok. Dia lah yang akan mengurus perceraian kita. Jadi, kau tak perlu khawatir. Aku sudah menandatangani surat perceraian kita.

 

Aku meremas kertas yang basah karena air mataku. Aku melemparnya hingga masuk ke tempat sampah. Aku terus menangisinya. Aku bukan suami yang baik. Aku tak bisa menjaga istriku. Aku telah mengecewakan Ayah. Aku tak bisa memberikan cucu untuk beliau. Aku harus bagaimana? Aku telah mengecewakan semua orang.

Tiba-tiba, ponselku berdering. Aku segera meraihnya. Oh, itu Yoona. Aku merejectnya. Aku tak peduli Yoona akan marah. Saat ini, yang ku pikirkan adalah Sooyeon.

“Aku harus menyusulnya! Ya, aku harus menyusulnya dan menggagalkan perceraian ini.” ucapku—yakin.

Aku segera berkemas dan menghubungi Sehun  untuk memesan tiket ke Beijing. Sooyeon, aku takkan semudah itu melepaskanmu. Meskipun aku membencimu, terkadang rasa benci menghilang dan berganti dengan rasa cinta. Rasa cinta yang amat dalam. Begitu pula sebaliknya. Terkadang rasa cinta  bisa berganti menjadi benci. Aku tak mengerti dengan perasaanku. Yang pasti, pelajaran yang ku dapatkan adalah jangan menyia-nyiakan seseorang yang ku miliki. Karena orang itu akan menjadi orang yang sangat berharga untukku selama hidupku.

END

Wife’s Not Considered (Jessica’s Version)


Gambar

Title : Wife’s Not Considered

Author : Xiao Li/ @dhynakim10

Main Cast :

  • SNSD’s Jessica as Jung Sooyeon
  • EXO-K’s Kai as Kim Jongin

Support Cast :

  • SNSD’s YoonA as Im Yoona
  • SNSD’s Yuri as Kwon Yuri
  • SNSD’s Taeyeon as Kim Taeyeon
  • Mom (Jessica’s)
  • JYJ’s Jaejoong as Kim Jaejoong (Kai’s Dad)
  • etc

Genre : Angst, Romance, Family

Length : Oneshoot

Rating : PG17

Note : Aku bikin dua versi, versi Jessica dan Kai. Semoga kalian suka, ya? Dan jangan lupa ninggalin jejak.

>>>

Mungkin sudah takdirku seperti ini. Mencintai tanpa di cintai. Hubungan ini terbentuk memang bukan karena cinta, melainkan rasa keterpaksaan. Tapi, setelah melewati hari bersamanya, akhirnya aku jatuh hati padanya. Tetapi bagaimana dengan dirinya? Dia masih kokoh mempertahankan keputusannya. Ia takkan pernah mencintaiku dan ia akan selamanya membenciku.

“Jongin-ssi, bangunlah. Hari ini kau harus bekerja, bukan?” ucapku—tepat di depan pintu kamar Jongin.

Setiap hari selalu seperti ini. Menyebut namanya dengan formal, membangunkannya dari luar kamarnya, dan tak boleh satu kali pun masuk ke dalam kamarnya. Selalu seperti ini. Tidak pernah berubah.

“Jongin-ssi—”

“BERISIK! AKU BISA BANGUN SENDIRI! TAK USAH MENGURUSIKU!”

Aku menggigit bibir bagian bawahku dengan tubuh yang gemetaran. Selalu saja seperti ini. Di bentak, di marahi, di salahi. Tapi aku tak pernah putus asa melakukannya. Karena jika aku tak membangunkannya, bisa saja posisinya sebagai direktur utama di perusahaannya terancam karena sikap ketidakprofesionalnya.

“Maafkan aku. Sarapan sudah ku siapkan di bawah.” ucapku.

Tak ada jawaban. Aku mulai melangkahkan kakiku menjauhi kamar Jongin dan menuju kamarku yang terletak di sebelah kamar Jongin. Aku segera masuk ke dalam kamarku dan menguncinya rapat. Jongin takkan senang jika ia keluar dan melihatku di pagi hari. Jika begitu, ia akan mengatakan, ‘Kenapa muncul di pagi hari? Aku tak berharap melihatmu pertama kali!’. Selalu seperti itu. Hingga akhirnya ku kabulkan keinginannya dengan mengunci diriku di dalam kamar yang hampa.

Aku merebahkan tubuhku di atas ranjangku dan mulai memejamkan kedua mataku perlahan, berharap aku bisa tidur dengan tenang meskipun ini sudah pagi.

>>> 

Aku membuka mataku saat mendengar ponselku berdering. Aku segera meraihnya dan menatap layar ponselku dengan keadaan setengah sadar. Mata buramku mengira yang menelponku adalah Ibuku. Aku pun mengangkatnya.

“Halo?”

“Sooyeon-ah~”

Aku tersenyum. Benar, ini suara Ibu.

“Ada apa, eomma?” tanyaku.

“Eomma tadi pergi ke sungai Han, sayang.”

Aku menghela nafas berat. Ibu memang keras kepala. Kondisinya belum pulih total. Dokter belum mengijinkan Ibu melakukan aktivitas seperti biasa.

“Eomma—”

“Eomma bosan berada di rumah, sayang. Jadi, eomma memutuskan untuk keluar. Lagipula eomma di temani oleh sahabatmu, Taeyeon.”

Aku menghela nafas lega. Untunglah Taeyeon yang menemani Ibu. Taeyeon adalah sahabatku yang berprofesi sebagai seorang perawat di Rumah Sakit. Jadi, aku tak perlu khawatir.

“Katakan padanya terima kasih karena sudah mau menemani eomma.” pintaku.

“Tapi—”

“Tapi apa, eomma?” tanyaku.

“Eomma kurang yakin. Tapi, Taeyeon merasa yakin dengan siapa yang kami lihat.”

“Apa yang eomma lihat?” tanyaku—bingung.

“Itu—suamimu—”

Suamiku? Jongin maksudnya? Ada apa dengannya?

“Ada apa, eomma?” tanyaku—gugup dan khawatir.

“Kami melihatnya berjalan di sungai Han bersama wanita lain.”

DEG!

Aku menelan salivaku kasar. Hal ini tak perlu ku kageti karena hal ini memang sering terjadi hanya saja Ibu dan Taeyeon tak mengetahuinya. Tetapi, mendengar hal ini terjadi lagi membuat hatiku teriris pisau yang tajam.

“E-Eomma tidak yakin, Sooyeon-ah. Jadi, tidak usah takut dulu. Mungkin Taeyeon salah melihat.”

Aku memaksakan diriku untuk tersenyum,

“Tidak apa, eomma. Aku rasa wanita itu adalah rekan bisnis Jongin.” jawabku.

“Eomma harap begitu.”

Aku menghela nafas berat sekali lagi. Mengapa Jongin tak pernah berubah? Jika kejadian ini di lihat oleh Ayahnya, bisa saja Jongin kembali di pukul oleh Ayahnya.

PLAKK!!

 

Jongin tersungkur di lantai akibat tamparan Ayahnya yang sangat keras. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya menunduk ketakutan.

 

“DASAR PRIA BODOH! APA YANG KAU LAKUKAN, BODOH? KAU SUDAH MENGKHIANATI SOOYEON! KAU JUGA MEMPERMALUKAN KAMI SEMUA KARENA KELAKUANMU ITU! KAU SUDAH BERISTRI, KIM JONGIN! SADARLAH! ISTRIMU ADALAH SOOYEON! KENAPA PERGI DENGAN WANITA LAIN?”

 

“Karena aku tidak mencintai Sooyeon sedikit pun! Aku menikah dengannya karena terpaksa.” jawab Jongin—yang sukses membuatku rapuh saat itu juga.

 

Ayahnya kembali menampar Jongin. Beliau juga memukul dan menendang Jongin hingga Jongin berteriak kesakitan.

 

Aku tak bisa diam saja. Ku hampiri Jongin dan memohon ampun pada mertuaku.

 

“Jangan sakiti Jongin, abeoji. Ku mohon!” mohonku.

 

“Jangan membelaku!” bentak Jongin.

 

“Tidak. Aku tidak mau kau seperti ini, Jongin-ah.” ucapku.

 

Aku beralih pada mertuaku. Ia masih memperlihatkan wajahnya yang penuh amarah.

 

“Tolong maafkan dia, abeoji! Maafkanlah dia.” pintaku.

 

“Sooyeon-ah~”

 

“Ku mohon, abeoji. Maafkanlah Jongin.” pintaku—sambil terus menangis.

 

Akhirnya Ayahnya Jongin mau memaafkan Jongin dengan syarat Jongin takkan melakukan hal ini lagi.

“Sooyeon-ah?”

Aku tersentak. Aku baru sadar ponselku masih menempel di telinga kananku.

“Iya, eomma?”

“Apa kau baik-baik saja?”

“Iya, aku baik-baik saja, eomma.” jawabku.

“Baiklah. Eomma tutup dulu teleponnya. Sampai jumpa~”

“Iya, sampai jumpa, eomma.” balasku—lalu mengakhiri teleponnya.

Aku mengusap air mataku yang mengalir begitu saja. Kejadian itu selalu berhasil membuatku menangis jika mengingatnya.

>>> 

Aku membuka pintu utama setelah mendengar suara bel berbunyi. Aku kaget melihat Jongin di rangkul oleh sekretarisnya yang cantik bernama Kwon Yuri. Sebenarnya ini sudah biasa terjadi. Tapi, aku kaget saat melihat keduanya sedang mabuk.

“Selamat malam, Sooyeon-ssi. Kamar Jongin dimana, ya?” tanya Yuri.

“U-Untuk apa kau menanyakan itu?” tanyaku—bingung.

“Jongin memaksaku untuk melakukan ‘itu’. Ia meminta untuk melakukannya di kamarnya sendiri. Benar, kan, sayang?”

“Tentu saja, sayangku. Minggir kau. Jangan menghalangi jalanku, pelayan kampungan!” ucap Jongin.

Aku menunduk sedih. Jongin seperti ini lagi. Selalu saja menyakiti perasaanku.

“Cepat minggir!” bentak Jongin.

Aku mengangguk dan mempersilakan mereka untuk lewat. Setelah mereka menaiki anak tangga, aku segera menutup pintu.

Aku menangis lagi. Isakan mulai terdengar jelas. Aku berjongkok di depan pintu seraya menutup kedua wajahku dan terus menangis. Jongin keterlaluan. Bahkan dia berani bersetubuh dengan wanita lain.

Tapi, aku akan terus bertahan sampai kapan pun. Tuhan membenci makhluk-Nya yang berputus asa. Aku yakin, suatu saat nanti mukjizat akan datang kepadaku. Karena aku tahu, Tuhan itu maha adil.

>>> 

“PERGI DARI KAMARKU!”

Aku tersentak mendengar teriakan yang sangat keras dari lantai atas. Itu teriakan Jongin. Aku segera keluar dari dapur dan berdiri di dekat anak tangga seraya melihat ke atas. Aku kaget saat melihat Yuri dengan pakaian berantakan turun dari anak tangga.

BLAMM!!

Suara pintu kamar Jongin di tutup dengan keras terasa di gendang telingaku. Tampaknya Jongin tak menyadari apa yang ia lakukan bersama Yuri. Tentu saja, mereka kan sedang mabuk.

Saat Yuri sudah sampai di lantai dasar, ia menatapku tajam.

“Akan ku pastikan suamimu mendapatkan balasannya, Sooyeon-ssi!” ucapnya—lalu segera pergi.

Aku menelan salivaku kasar. Bagaimana jika ia mengadukan ini pada Ayah dan Jongin akan kembali di hukum oleh Ayahnya? Bagaimana ini?

Oke, satu-satunya cara adalah untuk meminta maaf pada Yuri.

>>> 

Aku menunggu Yuri di sebuah kafe dekat kantor Jongin. Setelah menunggu sepuluh menit, akhirnya Yuri muncul dari balik pintu kafe. Ia segera menghampiriku setelah berusaha mencari keberadaanku. Setelah sampai, ia segera duduk di kursi yang ada di hadapanku.

“Ada apa, Sooyeon-ssi?” tanya Yuri.

“Hm, begini, langsung saja, aku ingin meminta maaf—”

“Mau pesan apa, agasshi?” tanya seorang pelayan.

Aku menghela nafas berat. Pelayan ini berhasil memotong pembicaraan kami.

“Moccalatte.” ucapku.

“Sama dengannya.” ucap Yuri.

“Baiklah. Harap menunggu.” ucap pelayan itu—lalu segera pergi.

Yuri menyingkirkan sehelai rambut yang menutupi wajahnya. Sungguh, ia sangat cantik. Jauh lebih cantik di bandingkan aku.

“Kau ingin meminta maaf atas perlakuan suamimu itu?” tanya Yuri.

Oh, selain cantik, ia di berkahi kecerdasan dalam menebak. Ia sangat pantas menjadi sekretaris di perusahaan besar milik Jongin.

“Tepat.” jawabku.

“Aku tak bisa semudah itu memaafkan pria bajingan itu.” ucap Yuri.

Aku mengulum senyumanku. Bajingan? Aku tak terima dengan perkataan itu.

“Maaf, Yuri-ssi. Kata-katamu—”

“Dia memang bajingan. Buktinya dia berselingkuh dengan wanita lain selain dirimu. Apa kau tak sadar, Sooyeon-ssi? Kenapa kau diam saja?” tanya Yuri.

Yuri, kau benar. Tapi aku tak bisa menganggapnya seperti itu.

“Sooyeon-ssi, harusnya kau sadar. Kau adalah istrinya. Apa kau tak lelah di sakitinya terus menerus?” tanya Yuri.

Aku menutup mulutku karena isakan mulai keluar. Air mataku tak dapat ku bendung lagi. Mulai saat ini, Yuri ku percaya sebagai orang yang bisa menerima curahan hatiku.

>>> 

Aku tak menyangka bisa berteman dengan Yuri. Bahkan saat ini kami sedang bermain di Lotte World. Yuri mengusulkan ini. Ia ingin aku melupakan masalahku sejenak dan bersenang-senang. Memang sudah lama aku tak bersenang-senang seperti ini.

Setelah selesai menikmati wahana permainan, aku dan Yuri memutuskan untuk makan di sebuah restoran di Lotte World.

“Pesan salad dua, ya?” pinta Yuri.

“Baik. Harap menunggu.” ucap pelayan—lalu pergi.

“Yuri-ah, hari ini sangat menyenangkan.” seruku.

“Iya. Aku juga merasakannya. Sudah lama aku tak kesini. Mungkin karena aku terlalu serius dengan pekerjaanku.” ucapnya.

Aku mengangguk ceria. Ah, hari yang indah.

“Sooyeon-ah~” panggil Yuri.

“Ada apa, Yuri-ah?” tanyaku.

“Bukankah itu—”

Aku mengikuti arah pandang Yuri. Aku menelan salivaku kasar setelah melihat apa yang Yuri lihat. Jongin bersama wanita lain. Siapa lagi kali ini?

Yuri bangkit dan menarikku. Aku menggeleng dan menolak. Tapi Yuri tetap bersikeras menarikku. Akhirnya aku pasrah dan keluar dari restoran.

Aku dan Yuri menghampiri Jongin bersama wanita yang tidak ku kenal. Tapi aku sempat kaget karena merasa wanita itu mirip dengan Yuri.

“Yoona-ah?”

“Yuri eonni?”

Apa? Mereka saling mengenal?

“Jongin oppa, perkenalkan dia adalah sepupuku, Yuri eonni. Dan Yuri eonni, dia ini adalah Jongin oppa, cinta pertamaku.”

DEG!

Cinta pertama? Jadi, wanita ini adalah cinta pertama Jongin?

“A-Aku—” Jongin menahan kata-katanya. Apa yang ingin ia katakan?

“Eonni, siapa wanita ini?” tanya wanita itu.

“Yoona-ah, sebaiknya kau menjauhi pria ini.” ucap Yuri.

Tidak, Yuri-ah. Jangan katakan yang sebenarnya.

“Memangnya kenapa?” tanya Yoona.

“Karena dia adalah—”

“Direktur perusahaan ternama di Seoul.” potongku cepat.

Mereka bertiga menatapku aneh.

“Jadi, Yuri tak ingin kau dekat dengan seorang direktur. Mungkin—karena kebanyakan direktur itu suka memainkan perasaan wanita.” jelasku.

Yoona tertawa renyah, dan itu membuatnya tampak sangat cantik.

“Jongin oppa tak seperti itu, eonni. Jongin oppa adalah orang yang setia.” ucap Yoona.

Setia? Setia darimana? Mungkin Jongin memang setia jika ia dengan orang yang ia cintai. Tentu saja ia tak setia padaku. Bukankah ia membenciku?

“Yoona-ah, mau bermain roller coaster?” tawar Jongin.

“Tentu. Ayo, oppa!” jawab Yoona, “Sampai jumpa, eonni!”

“Ah, iya.” jawab Yuri.

Aku melihat mereka berlalu sambil berpegangan tangan. Uh, andai saja aku berada di posisi Yoona. Pasti sangat menyenangkan bisa berpegangan tangan dengan Jongin.

“Sooyeon-ah, kau adalah wanita terbodoh yang pernah ku temui.” ucap Yuri.

Aku menggeleng sambil tersenyum,

“Tidak, Yuri-ah. Hanya orang bodoh yang mau menghancurkan momen kedua sejoli yang sedang bernostalgia.” ucapku.

“Hanya orang bodoh yang mau menyembunyikan fakta, Sooyeon-ah.” ucap Yuri—lalu pergi.

Aku tahu Yuri pasti kecewa padaku. Tapi, apa daya? Aku tak mungkin membuat Jongin bertambah benci padaku.

>>> 

Hari mulai berlalu, minggu bahkan bulan juga berlalu. Jongin dan Yoona semakin dekat saja. Bahkan yang menyakitkan adalah, aku sering melihat mereka bercumbu di kamar Jongin. Ini sangat menyakitkan. Tapi, aku rela.

Memang seharusnya aku tak menerima tawaran seorang Kim Jaejoong untuk menikah dengan puteranya bernama Kim Jongin. Hanya karena aku harus mencari biaya untuk pengobatan Ibuku, aku harus menerima tawaran ini. Kim Jaejoong beralasan karena sampai saat ini Jongin tak memiliki pasangan, bisanya hanya bermain saja. Kini aku mengetahui jawabannya. Jongin tak memiliki pasangan karena ia menunggu kehadiran Yoona.

Kini Yoona telah kembali. Kebahagiaan datang kembali di hati Jongin. Aku merasakannya. Sangat merasakannya.

Aku segera meraih kertas dan pena. Aku mulai menulis kata demi kata. Setelah itu, aku masuk ke kamar Jongin.

Kebetulan Jongin sedang bekerja. Ia pasti akan marah padaku karena aku telah lancang masuk ke kamarnya. Tapi, inilah satu-satunya cara agar ia menemukan suratku.

Aku melihat kamar Jongin yang sangat tertata rapi dan wangi. Jongin memang tipe orang yang bersih. Benar-benar tipe idealku. Tapi, inilah nasibku. Cintaku bertepuk sebelah tangan.

Aku meletakkan kertas tersebut di atas meja rias milik Jongin. Aku mencoba membendung air mataku dan keluar dari kamar Jongin. Aku kembali ke kamarku dan membawa tas serta koper yang telah ku persiapkan sejak tadi keluar. Aku keluar dari rumah dan mencari taksi. Setelah menemukan taksi, aku pergi ke bandara.

Akhirnya aku sampai di bandara. Aku memesan tiket dan naik ke pesawat dengan cepat meskipun waktu penerbangan tinggal 10 menit lagi. Aku memutuskan untuk pergi ke Beijing. Mungkin disana aku bisa menemukan kehidupan yang baru.

Aku mengetik pesan kepada Yuri.

To: Yuri

Jaga dirimu baik-baik. Semoga kau tak bernasib sama denganku, Yuri-ah. Aku senang bisa bersahabat denganmu. Aku menyayangimu~

Aku menyentuh tombol mengirim. Aku bersandar perlahan. Waktu tinggal 5 menit lagi. Aku akan meninggalkan negera Korea Selatan.

Ibu, semoga kau lekas sembuh. Taeyeon, tolong jaga Ibuku. Yuri, kau harus banyak makan. Belakangan ini kau sangat kurus.

Dan untuk Jongin, semoga kau bahagia bersama Yoona.

END